Senin, 07 Oktober 2013

Tradisi yang ada di indonesia


Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung.
Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalteng. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak.
Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja.
Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.


TRADISI KEBO-KEBOAN, Pernik budaya tanah Osing

Masyarakat Banyuwangi yang mayoritas petani memiliki ritual sakral untuk meminta berkah keselamatan. Tradisi tersebut dikenal dengan nama kebo-keboan. Ritual ini menggunakan kerbau sebagai sarana upacara. Namun, kerbau yang digunakan binatang jadi-jadian yakni manusia berdandan mirip kerbau, lalu beraksi layaknya kerbau di sawah.
Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk ( epidemi - red ). Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa yang bernama Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.
Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.
Persiapan Upacara
Ritual yang meminta berkah keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu dimulai berbagai persiapan seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi, hingga menanam segala jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan dilewati kerbau jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah mata angin yang mengelilingi desa.

Ritual Ider Bumi
Usai pesta tumpeng, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri ( Dewi Padi ) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau ( sekujur tubuh mereka dilumuri arang plus rambut palsu warna hitam beserta tanduk, tidak lupa lonceng kayu berwarna hitam tergantung di leher layaknya kerbau ) dan dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Prosesi ini disebut sebagai ider bumi ( prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung ). Namun sebelumnya, pawang kerbau memberikan tapung tawar agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan pada sikerbau jadi-jadian itu. Puluhan manusia kerbau diarak keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia kerbau dikumpulkan dan diberi ritual khusus  ( seluruh "kerbau" dimandikan di sumber air tak jauh dari desa setempat. Biasanya, usai dimandikan mereka itu akan tidak sadarkan diri karena kemasukan makhluk gaib penunggu desa ). Puluhan kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang. Polah tingkah mereka pun berubah layaknya kerbau. Menyeruduk siapa saja yang ada di depannya. Penonton pun berlarian menghindari serudukan "kerbau". Penonton yang tertangkap harus rela dilumuri arang hitam yang ada di sekujur tubuh "kerbau". Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak diiringi gamelan angklung.




Adu Kerbau (Ma' Pasilaga Tedong)

Adu kerbau atau di daerah Toraja dikenal dengan nama "silaga tedong" merupakan acara adat di kabupaten Tana Toraja yang diadakan pada acara kematian. acara ini di langsungkan untuk memberikan penghiburan kepada keluarga duka yang bersangkutan. Sebelum acara pemakaman dilakukan, telah dilakukan persiapan yang penuh dengan acara seremoni. Mulai dari passilaga tedong secara massal, hingga prosesi pemotongan hewan yang juga dilakukan secara massal.Adu kerbau diawali dengan kerbau bule. 

Partai adu kerbau diselingi dengan prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali.Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau. Ada kerbau bule atau albino, ada pula yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut saleko dan hitam di punggung (lontong boko'). Jenis yang terakhir ini harganya paling mahal, bisa di atas Rp 100 juta. Juga terdapat kerbau jantan yang sudah dikebiri—konon cita rasa dagingnya lebih gurih Setelah acara passilaga tedong usai akan di lanjutkan dengan upacara adat yang disebut dengan "Pattinggoro Tedong". Pattinggoro Tedong adalah dimana kerbau-kerbau aduan tadi di sembelih dan orang Toraja agar dapat mengantarkan roh almarhum ke Dunia Arwah (orang suku Toraja menyebutnya "puyo").
Kerbau adalah hewan bernilai paling tinggi dalam budaya Toraja, salah satu etnis di Pulau Sulawesi. Kerbau yang dalam bahasa setempat disebut tedongatau karembau, memainkan peran sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Toraja dan etnis lain yang tinggal di daerah sekitar Toraja. Selain menjadi hewan pekerja (membantu membajak sawah dan mengangkut barang), alat transaksi (misalnya dalam jual beli tanah, mahar, warisan), kerbau juga dipakai sebagai persembahan dalam upacara rambu solo
dan rambu tuka masyarakat Toraja. Rambu tuka adalah upacara yang berkaitan dengan kehidupan seperti kelahiran, perkawinan, pesta panen, dan pesta sukacita. Ritus ini dilakukan saat matahari terbit hingga tengah hari dan berorientasi ke arah timur.


Upacara Rambu Solo’ di Tana Toraja

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan anisme politeistik yang disebut aluk, atau “jalan” (kadang diterjemahkan sebagai “hukum”). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo’ Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo’ Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.Kedua ritual tersebut sama pentingnya.

Upacara Pemakaman
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Upacara kematian ini disebut Rambu Solo’.
Rambu Solo’ merupakan acara tradisi yang sangat meriah di Tana Toraja, karena memakan waktu berhari-hari untuk merayakannya. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada siang hari, saat matahari mulai condong ke barat dan biasanya membutuhkan waktu 2-3 hari. Bahkan bisa sampai dua minggu untuk kalangan bangsawan. Kuburannya sendiri dibuat di bagian atas tebing di ketinggian bukit batu. Karena menurut kepercayaan Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Tana Toraja dulu, sebelum masuknya agama Nasrani dan Islam) di kalangan orang Tana Toraja, semakin tinggi tempat jenazah tersebut diletakkan, maka semakin cepat pula rohnya sampai ke nirwana.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau.  Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.


Ritual Tabuik Pariaman

Tahun baru islam yang di peringati 1 muharam 1434 hijriyah,  bicara tentang bulan Muharram pasti tidak akan lepas dari peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Hijrah itu sekaligus menjadi titik awal dimulainya kalender Islam. Ini artinya hijrah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1434 tahun. memaknai tahun baru islam ini banyak masyarakat muslim di seluruh belahan dunia menyambutnya dengan bahagia , termasuk di 
Indonesia yang memeriahkan dengan bentuk perayaan, yang notabennya berbeda dengan perayaan tahun baru masehi, perayaan-perayaan dalam konteks kebudayaan pun juga ada,  salah satu nya dalam kebudayaan di pariaman, Sumatra barat yaitu tradisi tabuik.
Tabuik merupakan tradisi turun temurun yang sudah berlangsung di daerah pariaman, sejarah Tabuik  berasal dari sebuah kata dari bahasa Arab yakni ‘tabut’ yang berarti mengarak merupakan sebuah tradisi masyarakat yang sudah dilaksanakan secara turun temurun. Upacara yang diselenggarakan pada hari Asura atau 10 Muharram ini merupakan sebuah peringatan atas peristiwa Perang Karbala yang dibawa oleh penganut Syiah dari Timur.
Tabuik berjumlah dua buah dan terbuat dari bambu serta kayu. Bentuknya menyerupai binatang berbadan kuda dan berkepala manusia dengan posisi  tegap dan memiliki sayap.  Dalam kepercayaan Islam, Tabuik tersebut sebagai gambaran dari Buraq yang dipercaya sebagai kendaraan Nabi Muhammad dalam peristiwa Isra’ Mi’raj. Kedua Tabuik tersebut diarak menuju pantai setempat untuk di ‘serahkan” ke laut. Saat matahari terbenam arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik tersebut dibawa ke pantai yang selanjutnya buang kelaut. Hal tersebut dipercaya sebagai ritual buang sial .
Tabuik yang sudah menjadi tradisi tahunan terhadap pemda setempat ini, tidak hanya memperkenalkan kebudayaan tetapi juga meningkatkan jumlah wisatawan yang datang dari dalam maupun luar kota, tradisi tabuik ini juga di selenggarakan di kota lain seperti Bengkulu. Semoga dengan artikel ini dapat menambah wawasan bagi para pembaca sekalian, sekaligus juga membatu pembaca mengingat bahwa budaya kita masih banyak yang perlu dilestarikan serta tetap menjaga kaidah islam dalam kebudayaan.



Prosesi Ritual Budaya Tabuik Pariaman

Membuat daraga

Beberapa hari sebelum prosesi tabuik dimulai terlebih dahulu masing-masing rumah tabuik mendirikan sebuah tempat yang dilingkari dengan bahan alami (pimpiang) empat persegi dan didalam nya diberi tanda sebagai kiasan bercorak makam yang dinamakan dengan”daraga” .fungsi dari daraga adalah sebagai pusat dan tempat alat ritual,merupakan tempat pelaksanaan maatam.

1. Mengambil tanah (tanggal 1 muharram)
Aktivitas pengambilan tanah dilakukan pada petang hari tanggal 1 muharam ,dilakukan dengansuatu arak-arakan yang dimeriahkan dengan gendang tasa. Mengambil tanah dilaksanakan oleh dua kelompok tabuik yaitu kelompok “tabuik pasar” dan “tabuik Subarang”, masing-masing kelompok mengambil tanah pada tempat (anak sungai) yang berbeda dan berlawanan arah . tabuik pasar di desa pauh, sedangkan tabuik subarang di alai-gelombang yang berjarak ±600 meter dari daraga(rumah tabuik). Pengambilan tanah dilakukan oleh seorang laki-laki dengan berpakaian jubah putih melambangkan kejujuran hosen. Tanah tersebut diusung ke “daraga” sebagai symbol kuburan hosen.

2. Menebang batang pisang (tanggal 5 muharram)
Menebang batang pisang adalah cerminan dari ketajaman pedang yang digunakan dalam perang menuntut balas atas kematian hosen.oleh seorang pria dengan berpakaian silat. Batang pisang ditebang putus sekali pancung.

3. Peristiwa maatam (tanggal 7 muharam)
Prosesi maatam dilaksanakan setelah shalat dzuhur oleh orang(keluarga) penghuni rumah tabuik. Secara beriringan mereka berjalan mengelilingi daraga sambil membawa peralatan ritual tabuik (jari-jari,sorban,pedang hosen dll) sambil menangis meratap-ratap. Hal ini sebagai pertanda kesedihan yang dalam atas kematian hosen, sedangkan daraga adalah hakekat dari kuburan hosen.

4. Maarak jari-jari (tanggal 7 muharam)
Maarak panja merupaka kegiatan membawa tiruan jari-jari tangan hosein yang tercincang, untuk diinformasikan kepada khalayak ramai bukti kekejaman raja zalim.
Peristiwa tersebut dimeriahkan dengan “hoyak tabuik lenong” yaitu sebuah tabuik berukuran kecil yang diletakkan diatas kepala seorang laki-laki sambil diiringi bunyi gandang tasa.

5. Maarak saroban (petang tanggal 8 muharam)
Peristiwa maarak saroban bertujuan untuk menginformasikan kepada anggota masyarakat akan halnya penutup kepala (sorban) hosen yang terbunuh dalam perang karbala. Hampir serupa dengan peristiwa maarak panja, bahwa kagiatan ini juga diiringi dengan membawa miniature tabuik lenong serta didiringi gemuruh bunyi gendang tasa sambil sorak sorai.

6. Tabuik naik pangkat (dini hari tanggal 10 muharam)
Pada dini hari menjelang fajar, dua bagian tabuik yang telah siap dibagun, di pondok pembuatan tabuik mulai disatukan menjadi tabuik utuh. Peristiwa ini dinamakan dengan tabuik naik pangkat, selajutnya seiring matahari terbit, tabuik diusung ke arena (jalan) dan ditampilkan dan hoyak sepanjang hari tanggal 10 muharam.

7. Pesta hoyak tabuik (tanggal 10 muharam)
Sepanjang hari tanggal 10 muharam mulai pada pukul 09.00 wib dua tabuik pasar dan tabuik subarang disuguhkan ketengah pengunjung pesta hoyak tabuik sebagai hakekat peristiwa perang karbala dalam islam. Acara hyak tabuik akan berlangsung hingga sore hari secara lambat laun tabuik diusung menuju pinggir pantai seiring turunnya matahari.

8. Tabuik dibuang kelaut(petang tanggal 10 muharam)
Tepat pukul 18.00 wib senja hari, tatkala “sunset” memancarkan sinar merah tembaga akhirnya masing –masing tabuik dilemparkan ke laut oleh kedua kelompok anak nagari pasa dan subarang ditengah kerumunan para pengunjung yang hanyut oleh rasa haru. Maka selesai lah prosesi pesta budaya tabuik.


Pasola, Tragedi Asmara di Padang Savana
Membedah pulau Sumba terbersit pesan Sumba adalah pulaunya para arwah. Di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian para abdi. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba.

Dua pertiga penduduknya adalah pemeluk yang khusuk berbakti kepada arwah para leluhurnya, khususnya kepada bapak besar bersama, sang pengasal semua suku. Marapu menurut petunjuk dan perhitungan para Rato, Pemimpin Suku dan Imam agung para Merapu. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampung dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu.
Sumba, pulau padang savana yang dipergagah kuda-kuda liar yang kuat yang tak kenal lelah menjelajah lorong, lembah dan pulau berbatu warisan leluhur. Binatang unggulan tingkatan mondial itu semakin merambah maraknya perang akbar pasola, perang melempar lembing kayu sambil memacu kuda, untuk menyambut putri nyale, si putri cantik yang menjelma diri dalam ujud cacing laut yang nikmat gurih.
Pasola berasal dari kata `sola’ atau `hola’, yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa’ (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.
Pasola diselenggarakan di Sumba Barat setahun sekali pada bulan Februari di Kodi dan Lamboya. Sedangkan bulan Maret di Wanokaka. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga Kabisu dan Paraingu dari kedua kelompok yang bertanding dan oleh masyarakat umum.
Sedangkan peserta permainan adalah pria pilih tanding dari kedua Kabisu yang harus menguasai dua keterampilan sekaligus yakni memacu kuda dalam kecepatan super tinggi (super speed power) dan melempar lembing (hola). Pasola biasanya menjadi klimaks dari seluruh rangkaian kegiatan dalam rangka pesta nyale.

Makepung di Jembrana


Kalau kita mendengar kalimat: “Bull-Racing”, mungkin pikiran kita melayang  ke-Pulau Madura, yang terkenal dengan “Karapan Sapi”. Ternyata ada “Buffalo Racing” atau “Balapan Kerbau” yang tidak kalah populernya dikalangan masyarakat Bali, khususnya dibagian Barat, yang dikenal dengan nama “Makepung”.


Bisa dipahami mengapa masyarakat Bali memilih melombakan kerbau daripada sapi, dikarenakan sapi adalah binatang tunggangan yang dipergunakan oleh Dewa Shiva dan dianggap sebagai hewan suci oleh penganut Hindu. Di Bali, khususnya dibagian Barat, sekitar kota Negara, Makepung ini merupakan event tradisional yang dilakukan beberapa kali setiap tahun, anehnya Makepung ini ternyata tidak begitu populer bagi masyarakat dibagian Bali lainnya.
Saya berkunjung kedesa Kaliakah, sekitar 5 Kilometer dari Negara,  untuk merekam peristiwa/event ini. Event ini  merupakan  pre-kualifikasi untuk suatu event utama, yaitu merebut Piala Gubernur Bali. Pelaksanaannya, pada umumnya adalah membagi kelompok dari berbagai desa, menjadi 2 group: Grup Utara dengan kostum Merah dan Grup Selatan dengan kostum Hijau.
Sehari sebelum event, arena Makepung telah dipadati oleh para pelomba dari berbagai desa, dengan membawa kerbau-kerbau mereka yang terbaik. Saya tidak pernah menyaksikan begitu banyaknya kerbau disuatu tempat sebagaimana  yang saya saksikan diarea Mekepung ini. Kerbau-kerbau ini pelihara dan diperlakukan sebagaimana layaknya seorang atlit terbaik. Konon, menjelang perlombaan, kerbau-kerbau ini diberikan menu makanan yang khusus, penuh dengan ramu-ramuan yang menghasilkan extra energi. Rupanya “doping” bukan suatu hal yang diharamkan diarena ini :)
Mereka yang mampu, mendatangkan kerbau-kerbau mereka dengan menggunakan truk-truk, sedangkan yang kurang mampu, berjalan cukup jauh dari desa-desa mereka dan keretanya ditarik dengan menggunakan ojek sepeda motor. Malamnya, suasana seperti layaknya “Pasar Malam”, diwarnai dengan berbagai, baik makanan maupun atraksi panggung dengan musik yang menyengat dan sudah barang tentu tidak ketinggalan minuman-minuman beralkohol.
Menjelang subuh, para pemilik kerbau yang akan diperlombakan, melakukan persiapan dengan ritual-ritual tertentu dan mendekorasi kerbau-kerbau mereka dengan asesories-asesories yang  warna-warni. Rupanya Team Kerbau ini juga mempunyai nama-nama yang cukup eksotik, seperti: Wiro Sableng, Juwita Malam dan lain sebagainya.
Sebagai orang Bali, tidak ada sesuatu yang lepas dari “ritual” dan “sajen”, demikian juga halnya diarena Makepung ini, bisa disaksikan orang-orang menempatkan sajen-sajen diberbagai tempat, seperti pada tikungan-tikungan maut dan khususnya di tempat “Start dan Finish”.
Saya selalu menghormati setiap peristiwa kultural dari berbagai daerah, etnis maupun berbagai bangsa, tetapi pada event Makepung  ini, sebagai seorang penyayang binatang, saya agak terusik. Meskipun kerbau-kerbau itu diperlakukan sebagaimana layaknya seorang atlet dalam pemeliharaannya sehari-hari, tetapi pada event tersebut cara para joki memacu kerbau-kerbau itu agak berlebih-lebihan bahkan bisa dikatakan sadis. Kerbau-kerbau itu dipukul dengan tongkat yang dibalut dengan paku-paku sekuat tenaga mereka, yang menimbulkan luka-luka pada kerbau-kerbau tersebut. Beberapa tourist dari Belanda yang melihat Makepung, menutupkan mata mereka dan meninggalkan arena, mungkin karena tidak tega melihat bagaimana kerbau-kerbau itu diperlakukan.
Saya menghimbau kepada event organiser Makepung dan atau apa saja yang memperlombakan binatang, untuk memberlakukan suatu peraturan yang ketat atas perlakuan terhadap para binatang yang diperlombakan tersebut. Sebagaimana pada setiap perlombaan, ada yang menang dan ada pula yang kalah, tetapi pada event Makepung ini, justru  “The Bad Loser” nampaknya yang mendapatkan aplaus yang paling meriah  dari para penonton.
Wisata di Indonesia


DEBUS BANTEN

Pertunjukan kemampuan orang menahan siksaan jasmani seperti dipukuli dengan rotan, bergulingan diatas hamparan tumbuhan ber¬duri tajam, berjalan di atas bara, mengunyah kaca dan lain-lain. masih banyak kita jumpai sebagai seni tradisional yang umum di kampung- kampung. Yang satu ini, yakni permainan debus sungguh mengeri¬kan. Permainan ini terdapat di berbagai daerah seperti Aceh, Sumate¬ra Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat dan Banten. Dari semua itu yang paling terkenal debus dari daerah Banten.
Debus sangat mungkin berasal dari kata Arab dablus, yang ber¬arti sejenis senjata penusuk berupa besi runcing. Debus sebagai kata benda yang dimaksud disini juga berupa alat tusuk dari besi panjang antara 50 - 60 cm yang ujungnya runcing, sedangkan pada pangkal¬nya diberi tangkai kayu yang sangat besar. Tangkai itu bentuknya silinder (garis tengahnya ± 20 cm), dihias dengan rantai besi dan ber¬fungsi sebagai tempat pemukul. Alat pemukulnya dari kayu yang di¬sebut gada.
Dengan demikian debus adalah sejenis pahat raksasa yang ber¬ujung runcing. Permainan debus pada pokoknya ya permainan de¬ngan alat debus itu, tetapi disamping yang pokok ini masih banyak kegiatan yang lain.
Ditinjau dari bentuk permainannya, debus dapat digolongkan salah satu pertunjukan (upacara) syaman, tetapi ditilik dari isi dan pelaksanaannya bertahan erat dengan keagamaan (Islam). Tidak mustahil memang telah terjadi perpaduan diantara berbagai unsur budaya tersebut. Ini mungkin juga merupakan jalan untuk menja¬wab pertanyaan sejak kapan permainan debus ada di Indonesia. Bila jalan ini benar maka unsur-unsur permainan debus sudah ada sejak masa prasejarah, sedangkan bentuk seperti kita dapati sekarang ini berasal dari masa awal perkembangan Islam di Indonesia.
Yang menonjol dalam permainan ini adalah pertunjukan keke¬balan orang terhadap berbagai senjata tajam. Permainannya merupa¬kan permainan kelompok. Di kerajaan Banten dahulu, yang terkenal sebagai penyebarluas agama dan budaya Islam, pertunjukan keke¬balan yang sangat digemari dan dibanggakan oleh masyarakat Banten ini dimanfaatkan sebagai sarana untuk penyiaran agama Islam, seperti halnya dilakukan oleh para Wah. Pada masa perlawanan terhadap penjajahan Belanda kesenian ini digiatkan sebagai penegak disiplin dan memupuk keberanian rakyat.
Unsur-unsur Permainan Debus
  1. Pemain, terdiri atas syeh atau pemimpin permainan debus, para pezikir, pemain dan penabuh.
  2. Peralatan permainan terdiri atas debus dengan gada nya, go¬lok, pisau, bola lampu, kelapa, alat penggoreng dan lain-lain.
  3. Alat musik untuk pingiring permainan debus terdiri atas: gendang besar, gendang kecil, rebana dan kecrek.
Seorang pemain debus harus kuat, tabah dan yakin kepada diri sendiri. Mereka harus taat menjalankan kewajiban-kewajiban agama Islam, tahan lapar, tahan tidak tidur, tahan tidak bergaul dengan isteri selama waktu yang ditentukan dan lain-lain persyaratan yang un¬tuk orang kebanyakan dirasakan berat.
Macam-macam Kegiatan
Dalam pelaksanaan pertunjukkan debus terikat pada ketentuan- ketentuan sebagai seni pertunjukkan pada umumnya dan tidak dapat berdiri sendiri, tetapi ada juga kegiatan-kegiatan atau pertunjukan- pertunjukan lainnya sebagai berikut.
  1. Pembukaan, sebelum acara resmi dimulai maka beberapa lagu tradisional dimainkan sebagai lagu pembukaan atau "gembung".
  2. Zikir.
  3. Beluh atau macapat, puji-pujian kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW.
  4. Pencak silat, dilakukan oleh satu atau dua pemain, dengan atau tanpa menggunakan senjata tajam. Seorang pesilat harus cepat, tepat, tajam penglihatan dan percaya diri.
  5. Permainan debus. Seorang pemain memegang alat debus (ke¬cil) dan ujungnya yang runcing ditempelkan ke perut. Seorang pema¬ in lain memegang kayu pemukul atau gada yang lalu dipukulkan kuat-kuat pada tanggkai debus. Pukulan dilakukan berkali-kali dan ternyata tidak melukai. Posisinya tidak hanya berdiri saja, atau pada perut saja tetapi juga dengan merebahkan diri dan pada bagian-bagi¬an tubuh yang lain. Debus yang besar biasanya untuk main syeh atau ketua debus sendiri. Bila terjadi "kecelakaan" atau pemain terluka, biasanya segera disembuhkan oleh syeh.
  6. Mengupas buah kelapa dengan gigi dan memecahnya dibentur¬kan pada kepala sendiri.
  7. Menggoreng telur dan kerupuk di atas kepala.
  8. Mengerat atau menoreh tubuh. Dengan senjata tajam (golok, pisau) perut, lengan, bahkan lidah ditoreh atau dipotong. Atraksi ini tampak sangat mengerikan sehingga terkadang ada penonton tidak tahan melihatnya.
  9. Main api. Dengan obor menyala seorang pemain membakar tubuhnya, atau berjalan-jalan diatas bara tanpa luka bakar sedikit pun.
  10. Makan kaca atau bola lampu listrik. Kaca atau bola lampu di¬makan seperti krupuk.
  11. Memanjat tangga yang anak tangganya tempat berpijak ada¬lah mata golok-golok tajam. Dalam keadaan biasa tapak kakinya akan putus, tetapi sang pemain melakukan dengan tenang dan ternyata tanpa cidera. Permainan ini sangat mencekam para penonton. Rasa¬nya sungguh tidak masuk akal.
  12. Dan lain-lain, sebenarnya masih banyak lagi atraksi lain yang dapat dipertunjukkan. Menurut keyakinan para pemain, semua atraksi tadi dapat dilaku¬kan bukan karena ia yang kuat, melainkan berkat ridha dan lindung¬an Allah SWT semata-mata.
Seperti halnya seni tradisional yang lain, debus pun semakin sedi¬kit penggunaannya, apalagi mereka yang tertarik untuk jadi pemain guna pelestariannya. Alangkah sayangnya kalau kepandaian yang langka ini punah. Ya, masih untunglah sekarang masih ada beberapa perkumpulan yang bertahan, bahkan dapat main digelanggang yang lebih luas seperti di Taman Ismail Marzuki Jakarta, tempat-tempat wisata dan bahkan di luar negeri.


Karapan Sapi: Madura Punya Tradisi


Karapan Sapi adalah acara khas masyarakat Madura yang di gelar setiap tahun pada bulan Agustus atau September, dan akan di lombakan lagi pada final di akhir bulan September atau October. Pada Karapan Sapi ini, terdapat seorang joki dan 2 ekor sapi yang di paksa untuk berlari sekencang mungkin sampai garis finis. Joki tersebut berdiri menarik semacam kereta kayu dan mengendalikan gerak lari sapi. Panjang lintasan pacu kurang lebih 100 meter dan berlangsung dalam kurun waktu 10 detik sampai 1 menit.

Selain di perlombakan, karapan sapi juga merupakan ajang pesta rakyat dan tradisi yang prestis dan bisa mengangkat status sosial seseorang. Bagi mereka yang ingin mengikuti perlombaan karapan sapi, harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk melatih dan merawat sapi-sapi yang akan bertanding sebelumnya. Untuk membentuk tubuh sepasang sapi yang akan ikut karapan agar sehat dan kuat, dibutuhkan biaya hingga Rp4 juta per pasang sapi untuk makanan maupun pemeliharaan lainnya. Sapi karapan diberikan aneka jamu dan puluhan telur ayam per hari, terlebih-lebih menjelang diadu di arena karapan.

Bagi masyarakat Madura, Kerapan dilaksanakan setelah sukses menuai hasil panen padi atau tembakau. Untuk saat ini, selain sebagai ajang yang membanggakan, kerapan sapi juga memiliki peran di berbagai bidang. Misal di bidang ekonomi, yaitu sebagai kesempatan bagi masyarakat untuk berjualan, peran magis religious; misal adanya perhitungan-perhitungan tertentu bagi pemilik sapi sebelum bertanding dan adanya mantra-mantra tertentu. Terdapat seorang 'dukun' yang akan 'mengusahakan'nya. Pada setiap tim pasti memiliki seorang 'dukun' sebagai tim ahli untuk memenangkan perlombaan.

Prosesi awal dari karapan sapi ini adalah dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura, yaitu Saronen. Babak pertama adalah penentuan kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok kalah, sedang babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang. Piala Bergilir Presiden hanya diberikan pada juara kelompok menang


UPACARA ADAT  KASADA, SUKU TENGGER

Bagi masyarakat Suku Tengger, Upacara adat adalah salah satu wujud rasa syukur masyarakat Tengger kepada tuhan.  Ada banyak upacara adat di masyarakat Tengger yang memiliku tujuan bermacam-macam diantaranya meminta berkah, menjauhkan malapetaka, wujud syukur atas karunia yang diberikan tuhan kepada masyarakat Tengger. Salah satunya adalah upacara adat Kasada.
Upacara ini adalah upacara untuk memperingati pengorbanan seorang Raden Kusuma anak Jaka Seger dan lara Anteng. Selain itu upacara ini dilaksanakan oleh masyarakat tengger untuk meminta keselematan dan berkah. Upacara ini dilaksanakan padat tanggal 14 s.d. 16 bulan Kasada atau saat bulan purnama tampak di langit secara utuh setiap setahun sekali.
Pada saat upacara ini berlangsung masyarakat suku tengger berkumpul dengan membawa hasil bumi, ternak peliharaan dan ayam sebagai sesaji yang disimpan dalam tempat yang bernama ongkek. Pada saat sudah mencapai di kawah gunung Bromo, seluruh sesaji tersebut dilemparkan ke tempat tersebut. Adapun upacara ini merupakan jalan ujian bagi pulun mulenen atau dukun baru untuk disahkan sebagai dukun, jika dukun baru keliru dalam melaksanakan proses upacara Kasada maka dukun tersebut gagal menjadi dukun.
Upacara Kasada sebagai peringatan pengorbanan Raden Kusuma merupakan penghormatan kepada Raden Kusuma yang rela berkorban untuk keselamatan masyarakat tengger. Dalam legenda upacara Kasada di Gunung Bromo terdapat mahkluk halus yang tidak memiliki nama akan tetapi dipanggil Sang Yang Widi yang digambarkan sebagai asal-usulnya dari kerajaan Majapahit sebelum keturunan kerajaan Hindu-Budha di Jawa.  Ada perjanjian antara roh Dewa Kusuma dengan masyarakat Tengger yang harus memberi sesajian setiap tanggal 14 bulan Kasada.
Dalam upacara Kasada masyarakat Tengger terdapat beberapa tahapan upacara yang harus dilaksanakan agar upacara Kasada berlangsung dengan khidmat yaitu Puja purkawa, Manggala upacara, Ngulat umat, Tri sandiya, Muspa, Pembagian bija, Diksa widhi, Penyerahan sesaji di kawah Bromo.
Proses berjalannya upacara Kasada dimulai pada Sadya kala puja dan berakhir sampai Surya puja dimana seluruh masyarakat Tengger menuju Gunung Bromo untuk menyampaikan korban. Upacara Kasada dimulai dengan pengukuhan sesepuh Tengger dan pementasan sendratari Rara Anteng Jaka Seger di panggung terbuka Desa Ngadisari. Tepat pada pukul 24.00 diadakan pelantikan dukun dan pemberkatan masyarakat di lautan pasir Gunung Bromo. Bagi masyarakat Tengger, dukun merupakan pemimpin dalam bidang keagamaan yang biasanya memimpin upacara-upacara ritual perkawinan dll. Pada saat ini sebelum dukun dilantik,  para dukun harus lulus ujian dengan cara menghafal dan membacakan mantra-mantra. Setelah selesai upacara, ongkek yang berisi sesaji dikorbankan di Puden Cemara Lawang dan kawah Gunung Bromo. Seluruh ongkek tersebut dilemparkan ke dalam  kawah sebagai simbol pengorbanan yang dilakukan nenek moyang mereka.
Upacara Kasada Masyarakat Tengger telah membawa manfaat bagi masyarakat tengger. Selain untuk meminta keselamatan, upacara ini mampu menyedot banyak perhatian seluruh kalangan masyarakat. Ada nilai politik dalam upacara Kasada ini dimana upacara Kasada merupakan upacara yang juga bertujuan untuk menancapkan kekuatan politik di daerah tersebut.


Mengenal Tradisi Batombe Khas Sumatera Barat

Bukan hanya menyimpan kekayaan budaya dan kuliner yang luar biasa. Sumatera Barat juga menyumpan kesenian yang menarik dan memiliki keunikan tersendiri. Penciptaannya tidak lepas dari proses budaya dan tradisi adat istiadat setempat. Selain unik, kesenian tersebut juga memiliki makna dan sejarah yang dalam bagi masyarakat Sumatera Barat.
Bila Anda berkunjung ke Nagari Abai, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan Sumatera Barat, terdapat kesenian Batombe yang menjadi kesenian daerah setempat. Kesenian yang satu ini memang unik karena secara tidak sengaja tercipta mengingat kesenian ini pertamakali dimainkan untuk menghibur dan memberi semangat pada masyarakat yang sedang bergotong royong membuat Rumah Gadang.
Kesenian Batombe diawali dengan pembacaan pantun pembukaan oleh seorang datuk. Para pemain lalu memasuki arena dan membuat lingkaran. Pemain terdiri dari 10 orang laki-laki dan 3 orang perempuan. 12 diantaranya bergerak menari membentuk garis linkaran. Sementara 1 lainnya menari di dalam lingkaran.
Kesenian Batombe diiringi dengan irama musik yang ceria. Alat musik yang digunakan biasanya terdiri dari gendang dan talempong. Keduanya dimainkan dengan cepat mengikuti irama tarian dan nyanyian yang dibawakan para pemain batombe. Keceriaan tarian semakin memacu adrenalin dan semangat sehingga pada bagian akhir, yang menyaksikan biasanya bergabung dan ikut menari bersama-sama.
Keceriaan musik serta tarian dalam kesenian batombe semakin meriah dengan pakaian yang digunakan para penari. Para penari menggunakan pakaian khusus menyerupai pemain randai atau silat. Warna pakaian pun semarak dan bervariasi mulai dari warna merah, hijau, kuning, dan hitam. Kepala para penari juga biasanya dilengkapi dengan ikat kepala warna kuning keemasan.
Pada awalnya, tradisi kesenian batombe bermula dari tradisi membangun Rumah Gadang. Konon, masyarakat Nagari Abai masih sangat sunyi dan diselimuti beragam ancaman mulai dari beragam satrwa liar serta cuaca. Oleh karenanya masyarakat berinisiatif untuk membangun Rumah Gadang yang dapat ditempati bersama-sama.
Sejak keputusan tersebut, masyarakat mulai membangun rumah Gadang bersama. Namun ternyata masyarakat mulai penat dan jenuh membangun Rumah Gadang tersebut. Melihat hal tersebut, sebagian orang memiliki ide untuk memberi semangat dengan menyanyikan panton, menari serta memainkan alat musik. Para pekerja pun kembali semangat dan menyelesaikan pembangunan Rumah Gadang tersebut.
Kesenian Batombe memang terbilang unik. Beberapa tradisi berawal dari kebiasaan-kebiasaan yang telah dilakukan seperti menyembelih kambing atau domba. Hal ini dipertahankan demi menjaga nilai luhur dari kebiasaan tersebut. Sebagai seni budaya serta tradisi bangsa, masyarakat juga tetap mempertahankan salah satu kekayaan budaya Indonesia ini.


Upacara Ngaben di Bali


Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama sbg kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Seperti yg tulis di artikel ttg pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yg disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh). Ketika manusia meninggal yg mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Nah ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar. Ada beberapa pendapat ttg asal kata ngaben. Ada yg mengatakan ngaben dari kata beya yg artinya bekal, ada juga yg mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu), dll.
Dalam Hindu diyakini bahwa Dewa Brahma disamping sbg dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi ngaben adalah proses penyucian roh dgn menggunakan sarana api sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yg digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta utk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yg melekat pada atma/roh.
Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya menuju sorga, atau menjelma kembali ke dunia melalui rienkarnasi. Karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian.
Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.
Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga mempersiapkan "bade dan lembu" terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan.
Prosesi ngaben dilakukan dgn berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya sbg simbol-simbol seperti halnya ritual lain yg sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yg meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yg tidak ada jenazahnya spt orang tewas terseret arus laut dan jenazah tdk diketemukan, kecelakaan pesawat yg jenazahnya sudah hangus terbakar, atau spt saat kasus bom Bali 1 dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.
Untuk prosesi ngaben yg jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya kemudian dibakar. Banyak tahap yg dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yg berbeda-beda. Ketika ada yg meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta utk menanyakan kapan ada hari baik utk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yg tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.
Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), maka pihak keluarga akan menyiapkan ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sbg kelompok yg karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap. Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol2 menggunakan kain bergambar unsur2 penyucian roh.
Pada hari H-nya, dilakukan prosesi ngaben di kuburan desa setempat. Jenazah akan dibawa menggunakan wadah, yaitu tempat jenazah yg akan diusung ke kuburan. Wadah biasanya berbentuk padma sbg simbol rumah Tuhan. Sampai dikuburan, jenazah dipindahkan dari wadah tadi ke pemalungan, yaitu tempat membakar jenazah yg terbuat dari batang pohon pisang ditumpuk berbentuk lembu.
Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yg dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralinaadalah pembakaran dgn api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yg melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dgn menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yg menggunakan angin.
Umumnya proses pembakaran dari jenazah yg utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yg dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan. Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu utk bayi yg berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yg akan ada jika ada keluarganya meninggal.
Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.
Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.


Tradisi Potong Jari Di Papua,


Apakah ungkapan kesedihan yang dipertunjukkan oleh seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Menangis, barang kali itu yang paling sering kita jumpai. Bagi umumnya masyarakat pengunungan tengah dan khususnya masyarakat Wamena ungkapan kesedihan akibat kehilangan salah satu anggota keluarga tidak hanya dengan menangis saja.
Biasanya mereka akan melumuri dirinya dengan lumpur untuk jangka waktu tertentu. Namun yang membuat budaya mereka berbeda dengan budaya kebanyakan suku di daerah lain adalah memotong jari mereka.
Hampir sama dengan apa yang dilakukan oleh para Yakuza (kelompok orangasasi garis keras terkenal di Jepang) jika mereka telah melanggar aturan yang telah ditetapkan oleh organisasi atau gagal dalam menjalankan misi mereka. Sebagai ungkapan penyesalannya, mereka wajib memotong salah satu jari mereka. Bagi masyarakat pengunungan tengah, pemotongan jari dilakukan apabila anggota keluarga terdekat seperti suami, istri, ayah, ibu, anak, kakak, atau adik meninggal dunia.
Pemotongan jari ini melambangkan kepedihan dan sakitnya bila kehilangan anggota keluarga yang dicintai. Ungkapan yang begitu mendalam, bahkan harus kehilangan anggota tubuh. Bagi masyarakat pegunungan tengah, keluarga memiliki peranan yang sangat penting. Bagi masyarakat Balim Jayawijaya kebersamaan dalam sebuah keluarga memiliki nilai-nilai tersendiri.
pemotongan jari itu umumnya dilakukan oleh kaum ibu. Namun tidak menutup kemungkinan pemotongan jari dilakukan oleh anggota keluarga dari pihak orang tua laki-laki atau pun perempuan. Pemotongan jari tersebut dapat pula diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.
Seperti kisah seorang ibu asal Moni (sebuah suku di daerah Paniai), dia bercerita bahwa jari kelingkingnya digigit oleh ibunya ketika ia baru dilahirkan. Hal itu terpaksa dilakukan oleh sang ibu karena beberapa orang anak yang dilahirkan sebelumnya selalu meninggal dunia. Dengan memutuskan jari kelingking kanan anak baru saja ia lahirkan, sang ibu berharap agar kejadian yang menimpa anak-anak sebelumnya tidak terjadi pada sang bayi. Hal ini terdengar sangat eksrim, namun kenyataannya memang demikian, wanita asal Moni ini telah memberikan banyak cucu dan cicit kepada sang ibu.
Pemotongan jari dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang memotong jari dengan menggunakan alat tajam seperti pisau, parang, atau kapak. Cara lainnya adalah dengan mengikat jari dengan seutas tali beberapa waktu lamanya sehingga jaringan yang terikat menjadi mati kemudian dipotong.
Namun kini budaya ‘potong jari’ sudah ditinggalkan. sekarang jarang ditemui orang yang melakukannya beberapa dekade belakangan ini. Yang masih dapat kita jumpai saat ini adalah mereka yang pernah melakukannya tempo dulu. Hal ini disebabkan oleh karena pengaruh agama yang telah masuk hingga ke pelosok daerah di Papua.


ahahahahyy.
di atas meruapakan beberapa tradisi yang ada di indonesia, dan masih banyak lagi kekayaan alam indonesia yang belum kita ketahui di luar sana.

OM  BAE segera kembali memberikan pengetahuan baru untuk kalian semoga bermanfaat 
salam.,

1 komentar:

  1. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.


    BalasHapus