TUGAS
MANDIRI
DAMPAK GLOBALISASI
DIBIDANG POLITIK
Disusun Oleh :
1.Taufik
2.Panut
3.Sofan
Kelas :
IX B
SMP 03 BOJONG
Tahun Pelajaran 2013 / 2014
Dampak
Globalisasi di Bidang Politik
A. Globalisasi
Globalisasi adalah
suatu kata yang mungkin paling banyak dibicarakan orang dalam waktu lima tahun
terakhir ini, dengan pemaknaan yang beragam. Namun, apa yang dipahami sebagai
istilah globalisasi akhirnya membawa kesadaran membawa kesadaran bagi semua penghuni
planet ini saling terkait dan tidak bisa dipisahkan begitu saja satu sama lain
walau ada rentang jarak yang secara fisik membentang. Dunia dipandang sebagai
satu kesatuan dimana semua manusia di muka bumi ini terhubung satu sama lain.
Waters (1995) mengemukakan
definisi globalisasi sebagai suatu proses sosial dimana terdapat perlawanan
secara geografis pada kemunduran perubahan social dan kebudayaan. Teori
globalisasi diletakkan pada kehadiran pembangunan ilmu social. Faktor
industrialisasi memegang peranan penting dalam pembahasan globalisasi.
Dampak positif
Globalisasi :
1. Mudah memperoleh
informasi dan ilmu pengetahuan
2. Mudah melakukan
komunikasi
3. Cepat dalam
bepergian ( mobili-tas tinggi )
4. Menumbuhkan sikap
kosmopo-litan dan toleran
5. Memacu untuk
meningkatkan kualitas diri
6. Mudah memenuhi
kebutuhan
Dampak negatif
Globalisasi:
1. Informasi yang
tidak tersaring
2. Perilaku konsumtif
3. Membuat sikap
menutup diri, berpikir sempit
4. Pemborosan
pengeluaran dan meniru perilaku yang buruk
5. Mudah terpengaruh
oleh hal yang berbau barat
B. Dampak Globalisasi
dalam bidang Politik
Negara tidak lagi
dianggap sebagai pemegang kunci dalam proses pembangunan. Para pengambil
kebijakan publik di negara sedang berkembang mengambil jalan pembangunan untuk
mengatasi masalah sosial dan ekonomi. Timbulnya gelombang demokratisasi (
dambaan akan kebebasan ).
I. Globalisasi
Politik
Analisis Daniel Bell
(1995) mengenai globalisasi dalam pengantar bab V buku globalization, cukup
menarik, bahwa negara menjadi sangat kecil untuk masalah kehidupan yang besar,
dan terlalu besar untuk masalah kehidupan yang kecil.
Atau Ayu Utami (2001) mengungkapkan dalam Larung bahwa …
Malcolm (1995)
menungkapkan bahwa ada lima ide dasar mengenai globalisasi. Ide-ide tersebut
adalah kedaulatan negara, proses penyelesaian masalah, organisasi
internasional, hubungan internasional dan budaya politik. Kelima ide tersebut
berhubungan dengan dimensi material pada suatu peningkatan dan saling
berhubungan diantara unit-unit ekonomi yang terpisah dari masyarakat.
Kedaulatan negara
merupakan ide dari proses transformasi bentuk negara di dunia. Ide ini dimulai dari
tingkatan non politik, hubungan antar masyarakat sampai kebutuhan untuk
mengeksiskan sumberdaya di sebuah negara dan kemungkinan pergantian konsep
pemerintahan. Peningkatan hubungan ekonomi dan kebudayaan antar negara
mengurangi kekuasaan dan keaktifan pemerintah pada tingkat negara-bangsa dan
pemerintahan. Sehingga pemerintah tidak dapat lagi menghegemoni pemikiran dan
bentuk-bentuk perekonomian pada wilayahnya. Akhirnya instrumen-instrumen yang
telah dibangun pemerintah menjadi tidak efektif.
Kekuatan demokrasi
(yang dipahami sebagai kekuatan massa) memakai media partai sebagai corong
pembelaan ideologinya. Partai sendiri mencoba untuk mengatur kesejahteraan
anggota partainya masing-masing. Untuk itu perlu stabilitas politik yang
mantap. Konsep stabilitas politik yang mantap, bukan hanya trade mark penganut
Rostowian, fenomena negara-negara komunis pun menunjukkan hal yang serupa.
Sebagai langkah taktis maka negara telah membuat beberapa kerangka kebijakan.
Kebijakan tersebut dijabarkan oleh Waters (1995) menjadi pertama pembangunan
kapasitas negara itu sendiri, sehingga pemberdayaan swasta menjadi sektor yang
penting. Di titik ini negara hanya berperan untuk mancerdaskan masyarakatnya
dengan melakukan pendidikan politik. Kedua tempat atau kekuasaan negara menjadi
tersembunyi dibalik kekuasaan para birokrat. Ketiga intervensi dari negara
cenderung merusak kestabilan dan mekanisme pasar. Keempat negara tidak mampu
lagi memberikan kemanan seperti terorisme, sindikat obat-obatan, AIDS dan
lingkungan. Kelima Dengan persekutuan internasional, negara menjadi lebih
berbahaya dari keamanan. Hal ini membagi dunia kepada permusuhan dimana
komitmen pengadaan teknologi militer mempunyai satu tujuan.
Globalisasi politik
ini menjadikan negara mengalami disetisasi atau pelemahan negara. Kelompok
pendukung negara mulai melokal. Komunitas perdagangan menjadi mengecil dan
digantikan oleh kepentingan lokal dan menjadi inisiatif warga negara.
Akibat globalisasi,
ada beberapa masalah yang dulu dianggap lokal menjadi masalah global. Isu
masalah ini sangat sensitif dan krusial, sehingga sering kali mengundang
intervensi dari suatu negara ke negara lain. Padahal setiap negara mempunyai
hak yang absolut untuk menentukan otonomi dari suatu negara.
Masalah hak-hak
manusia (atau disebut dengan etatocentric) akan membawa dan mengangkat
kemampuan manusia untuk melawan kedaulatan negara. Pelembagaan etatosentrik
dari legal secara politik sampai kepada ekonomi telah memberikan kesempatan
kepada porsi nilai-nilai kemanusiaan dalam pembangunan. Dalam posisi ini negara
harus tunduk kepada beberapa konvensi hak asasi manusia dan beberapa turunannya
dalam konvensi hak PBB. Implikasinya, sebuah negara harus bersikap demokratis
dan siap untuk merubah beberapa kebijakan yang melanggar etatosentrik.
Internasionalisasi etatosentrik lebih cenderung mengambarkan keberpihakan
politik negara maju kepada negara dunia ketiga.
Isu lingkungan hidup
menggambarkan kecemasan dunia barat terhadap ‘perilaku’ negara dunia ketiga
dalam mengeksplorasi sumber dayanya. Pemanasan global, polusi, efek rumah kaca
dan kelangkaan flora fauna dijadikan komoditas politik negara maju dalam
mengatur kebijakan politik dan ekonomi negara dunia ketiga. Sebuah bantuan
(baca : hutang) luar negeri negara dunia ketiga, acap kali dibumbui proposal
lingkungan hidup (termasuk demokratisasi tentunya) dengan versi negara
investor. Standarisasi ini menjadikan negara dunia ketiga menjadi tidak
independen dalam menentukan sikap politik negara masing-masing.
Kebutuhan akan agenda
dan masalah bersama di antara negara-negara di dunia mengerucut kepada ide
untuk membentuk organisasi internasional. Konsensus dari organisasi
internasional ini telah membawa kesadaran kolektif beberapa negara tehadap
permasalahan yang dihadapinya. Sebuah pembangunan di kawasan akan berhadapan
dengan perbedaan budaya, kebutuhan dan cara pandang suatu negara terhadap sikap
sosial, politik, ekonomi, budaya sampai pertahanan dan kemanan. Komunitas
professional juga mempunyai kebutuhan bersama terhadap ratifikasi traktat atau
konvensi yang diberikan oleh PBB. Pada akhirnya, jaringan organisasi ini lebih
mudah untuk digunakan dari pada kemampuan kekuatan diplomatik antara negara.
Fenomena cukup
menarik ditunjukkan bahwa globalisasi politik berimplikasi pada model hubungan
internasional, secara spesifik dengan globalisasi tiga dunia (kapitalis,
sosialis maupun dunia ketiga) dapat bersatu. Perang dingin telah menjadi
sejarah, dan kepentingan untuk membentuk dunia baru telah menjadi kepentingan
bersama. Interpretasi dari analisis ini ditunjukkan Waters (1995). Pertama
pembangunan liberalisasi demi menunjukkan meleburnya kekuatan super power
(pasca Soviet). Kedua Kemenangan USA dalam perang dingin dan perang di Kuwait
(dan terbaru di Afghan) merupakan kombinasi antara negara adi daya militeristik
dengan negara yang kuat pendanaan. Ketiga kepentingan dunia yang multipolar
telah berganti menjadi model hubungan internasional.
Analisis budaya
politik dibangun oleh Fukuyama (1992) dan Huntington (1991). Nilai dan budaya
politik akhirnya mengerucut kepada kebutuhan akan kesamaan cara pandang dalam
memahami hubungan antar negara. Implikasinya setiap negara kembali menguatkan
tradisi nasionalnya agar tetap mampu bersaing dalam dunia global.
Soros (2001) menilai
kekuatan budaya negara dan bangsa seperti etika confusian akan memenangkan
pertarungan dalam globalisasi ini.
Namun pertarungan antara kepentingan pribadi dan kapitalis akan berhadapan
dengan kepentingan bangsa atau kepentingan publik. Di sinilah perdebatan antara
kapitalisme dan demokrasi.
Untuk itu perlu kombinasi yang kuat antara system kapitalisme dengan nilai
demokrasi sebuah negara. Hegemoni negara adi daya yang akan memainkan peran
ini.
II. Implikasi
Globalisasi Politik Terhadap Negara Dunia Ketiga
Dalam kasus beberapa
negara, terlihat bahwa globalisasi mau tidak mau akan membawa dampak baik
positif maupun negatif terhadap negara-negara di dunia ketiga. Masalah
pembangunan adalah isu sentral dalam globalisasi. Perdebatan tentang
globalisasi ini dapat dilihat dalam Giddens (1995), yaitu budaya politik sampai
konsep keluarga.
Dalam konteks budaya
Giddens mencontohkan pergeseran tradisi karena modernisasi. Tradisi adalah
hasil dari proses penciptaan manusia dimana faktor kekuasan sangat memegang
peran terhadap perubahan tersebut. Para pemimpin, Kaisar, Raja bahkan pemuka
agama menciptakan tradisi untuk membenarkan diri mereka sendiri dan membangun
legitimasi bagi kekuasaannya.
Realitas dunia
melahirkan beberapa kombinasi antara tradisi dengan ilmu pengetahuan. Banyak
kasus seperti di India pada tahun 1995. Pada saat itu dibangun opini bahwa para
dewa juga meminum susu implikasinya adalah pada hari itu dan hari kemudian
terjadi sebuah fenomena dimana banyak orang yang mempersembahkan susu dihadapan
patung atau gambar dewa-dewi. Teknologi dan pengaruh para pemuka agama
menjadikan ketika fenomena pemberian susu menjadi sebuah tradisi baru.
Ada juga kasus,
dimana tradisi tunduk terhadap modernisasi. Dalam kasus ini terjadi
desakralisasi tradisi, sehingga tradisi menjadi sangat kering dan
dikomersialisasikan. Tumbuhnya globalisasi yang memicu industrialisasi telah
menghasilkan produk-produk tradisi menjadi ‘hanya’ sekedar oleh-oleh atau
simbol kebudayaan suatu bangsa. Fenomena ini menjelaskan bahwa pertama tradisi
hanyalah menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan untuk membangun nasionalisme
semu atau jati diri semu dari suatu bangsa. Kedua tradisi telah dikalahkan oleh
kebutuhan negara untuk mendapatkan devisa yang besar dengan dalih ‘menjaga
tradisi-tradisi luhur’ bangsa.
Desakralisasi ini
menumbuhkan perilaku fundamentalisme dan pragmatisme. Dalam kacamata
pragmatisme tradisi hanyalah suatu obyek untuk mengenalkan budaya bangsa
terhadap dunia luar. Sedangkan fundamentalisme berusaha untuk menjaga
nilai-nilai dari tradisi agar tidak tercabut dari akarnya. Fundamentalisme ini
menghasilkan semangat puritan di beberapa tempat yang akhirnya menciptakan
gerakan anti westernisasi.
Dalam kebijakan dan
teori ekonomi pembangunan, dapat dilihat implikasi teori pembangunan terhadap
negara dunia ketiga atau negara-negara selatan.
Implikasi kebijakan pembangunan ini dapat dipetakan secara lebih mikro untuk
ukuran benua. Negara-negara di Amerika Latin termasuk negara-negara yang
memiliki hutang besar pada bank-bank internasional, kondisi ini disebabkan
kebijakan penguasa yang tidak menghasilkan peningkatan kapasitas produktif.
Negara-negara Amerika Latin lebih cenderung untuk berhadapan dengan kondisi
internalnya sendiri, seperti masalah demokratisasi yang berhadapan dengan
diktator militer. Setelah kediktatoran hancur, dilema baru datang yaitu
kebijakan ekonomi yang tidak diikuti dengan kebijakan politik. Sehingga
negara-negara ini membutuhkan “dokter” yang dapat menyembuhkan mereka, dokter
itu adalah IMF.
Implikasi dari
industrialisasi membuat negara-negara di Afrika harus mengejar GNP dan devisa
negara. Rostowian telah membuat syarat yaitu stabilisasi politik dan keamanan.
Sehingga anggaran negara lebih banyak diutamakan dalam membangun kekuatan
militer. Untuk itu banyak negara-negara di Afrika yang menggenjot
industrialisasi dan mencoba membangun ketahanan pangan. Revolusi hijau telah
membuat keberhasilan semu dalam peningkatan jumlah pangan. Keberhasilan dari
industrialisasi dan modernisasi (plus stabilisasi) membuat negara-negara Afrika
‘berhasil’ dalam penggenjotan devisa. Namun, kondisi ini ternyata menyempitkan
jumlah petani dan eksplorasi tanah. Industrialisasi dan modernisasi telah
memakan korbannya kembali.
Kasus di Asia banyak
sekali permasalahan pangan dan hutang negara. Fenomena yang paling mendasar
selain kedua masalah di atas adalah masalah etnis. Kasus etno politik seperti
di Sri Lanka, Tibet, Kashmir dan Ambon telah menjadikan kasus ini menjadi akut.
Paradigma pembangunan yang menjadi masalah dalam konteks ini adalah perubahan
dari ekonomi non dinamis yang diregulasi dan diproteksi dimana keberpihakan
penguasa pada salah satu etnis menjadikan sistem ekonomi tidak lancar. Kasus
ini memicu disintegrasi sosial, sehingga dibutuhkan kembali identifikasi etnis,
jati diri bangsa dan territorial.
ASEAN komponen
organisasi internasional yang beranggotakan negara-negara di kawasan Asia
Tenggara mempunyai hubungan politik, geografis dan budaya. Masalah etnis dan
hutang negara telah menjadi maslaha bersama. Untuk kasus etnis terdapat maslaah
antara etnis dengan penguasa negara, seperti etnis Pattani di Thailand, Moro di
Filipina, Melayu dan India di Singapura, Jawa, Bugis di beberapa tempat dalam
kawasan Indonesia. Penyikapan masalah hutang negara juga sangat berbeda. IMF
sangat bermain kuat di Indonesia dan Thailand, padahal kesadaran arus bawah
terhadap perilaku IMF yang merugikan negara ini sudah jelas. Rejim Thailand
yang baru sudah berani untuk mengungkapkan bahwa kebutuhan akan kembali ke
identitas nasional dan menolak secara halus IMF.
Malaysia dengan
Mahathir sudah dengan tegas menolak IMF. Strategi yang dibangun oleh Malaysia
adalah mengurangi pengeluaran negara sebesar 18 %, menurunkan tingkat
pertumbuhan ekonomi dari 7 % menjadi 4-5 %, memperbesar dukungan terhadap
industri kecil dan menengah, memproteksi invenstor dalam negeri untuk melakukan
investasi di luar negeri, menggenjot pertumbuhan sektor pangan. Keberanian
Mahathir yang di dukung warga Malaysia dengan menolak MF dan Soros. Sehingga Soros
menjadi sangat berang dan melakukan klarifikasi bahwa yang dibuatnya hanyalah
sebuah bisnis semata dan tuduhan Mahathir tidak berdasar. Soros juga meramalkan
kejatuhan Mahathir dalam waktu dekat, walaupun sampai hari ini belum terjadi
secara riil.
III. Implikasi
Globalisasi Politik Terhadap Indonesia
Globalisasi politik
telah masuk ke Indonesia. Kedaulatan negara hari ini menjadi sebuah wacana yang
tidak akan pernah habis diperbincangkan. Disintegrasi nasional di beberapa
tempat seperti Aceh, Poso, Ambon, lepasnya Timor Timur. Rekayasa politik global
(factor ekstern) yang dikombinasikan dengan ekonomi membuat pemerintah
Indonesia menjadi bulan-bulanan di dunia Internasional. Masalah HAM, AIDS,
cyber crime (kejahatan siber), pengelolaan negara yang serba KKN,
ketidakberanian menghadapi IMF. Kejatuhan pemerintahan Suharto pada tahun 1998
yang diikuti ketidakstabilan politik, menjadikan Indonesia merosot dari segi
GNP, kemampuan pemerintah untuk mengelola kecerdasan bangsa dan yang paling
fatal adalah krisis identitas dan jati diri bangsa.
Kebijakan otonomi
daerah, agar daerah menjadi terberdayakan telah menjadi senjata makan tuan.
Keinginan beberapa daerah untuk memerdekakan diri dan meminta otonomi
seluas-luasnya dianggap mengganggu kedaulatan negara. Kematian Theys di
Jayapura menjadi indicator bahwa pemerintah pusat sudah tidak mampu lagi
menjaga keselamatan diri warga negara. Pembantaian massal di Ambon, Poso, Aceh
menjadi sebuah ironi dari keinginan negara yang hendak mewujudkan masyarakat
madani dan supremasi hukum.
Proses penyelesaian
masalah telah membuat kesadaran pemerintah dan warga negara agar mampu
memanfaatkan lobi di dunia internasional. Namun, sampai hari ini Indonesia
masih menjadi negara yang paling tidak stabil di kawasan ASEAN. Isu-isu lokal
seperti pengelolaan hutan, pengelolaan hutang luar negeri menjadikan Indonesia
momok di dunia Internasional baik di lingkungan LSM Internasional dan PBB.
Implikasi sangat
teknis terjadi dalam sector kebijakan ekonomi dan perdagangan. Indonesia yangmenjadi
negara eksportir nomor dua terbesar untuk karet mentah, ternyata tidak mampu
untuk mengelola perdagangan karet mentah sampai barang jadi berupa ban mobil.
Terjadi diskriminasi oleh negara barat terhadap Indonesia. Indonesia sampai
hari ini tidak boleh mengimpor mesin pembuat bahan baku karet, sehingga untuk
membuat ban mobil, Indonesia harus mengekspor dulu ke Inggris kemudian
mengimpor lagi ban mobil dari Inggris. Kebijakan untuk mendirikan pabrik
pembuat bahan dasar seperti Texmaco dan pengaplikasian ekonomi kerakyatan
mendapat tentangan dari IMF. IMF bahkan mengancam tidak akan memberikan bantuan
hutang luar negeri, jika Indonesia masih memperbolehkan Texmaco beroperasi dan
mencoba menggulirkan ekonomi kerakyatan.
· Pengaruh positif globalisasi terhadap
nilai- nilai nasionalisme
1.
Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan
demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika
pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat
tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa
nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2.
Dari aspek globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan
kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut
akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional
bangsa.
3.
Dari globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik
seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang
sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan
bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
·
Pengaruh negatif
globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme
1.
Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat
membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah
arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi
akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang
2.
Dari globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam
negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza
Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk
dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita
terhadap bangsa Indonesia.
3.
Mayarakat kita khususnya anak muda banyak yang lupa akan identitas diri sebagai
bangsa Indonesia, karena gaya hidupnya cenderung meniru budaya barat yang oleh
masyarakat dunia dianggap sebagai kiblat.
4.
Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin,
karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat
menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu
kehidupan nasional bangsa.
5.
Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antarperilaku
sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan
kehidupan bangsa.
Pengaruh- pengaruh di atas memang tidak
secara langsung berpengaruh terhadap nasionalisme. Akan tetapi secara
keseluruhan dapat menimbulkan rasa nasionalisme terhadap bangsa menjadi
berkurang atau hilang. Sebab globalisasi mampu membuka cakrawala masyarakat
secara global. Apa yang di luar negeri dianggap baik memberi aspirasi kepada
masyarakat kita untuk diterapkan di negara kita. Jika terjadi maka akan
menimbulkan dilematis. Bila dipenuhi belum tentu sesuai di Indonesia. Bila
tidak dipenuhi akan dianggap tidak aspiratif dan dapat bertindak anarkis
sehingga mengganggu stabilitas nasional, ketahanan nasional bahkan persatuan
dan kesatuan bangsa.
·
Pengaruh Globalisasi
Terhadap Nilai Nasionalisme di Kalangan Generasi Muda
Arus globalisasi begitu
cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh
globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut
telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa
Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam
kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.
Dari cara berpakaian
banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke
budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan
bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut
jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut
mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang
lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau
melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan
kepribadian bangsa.
Teknologi internet
merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh
siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka
sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat
yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini,
banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk
membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib
mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada
karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.
Dilihat dari sikap,
banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung
cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut
kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh
riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang
menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.
Jika
pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut?
Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan
muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada
rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat.
Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika
penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?
Berdasarkan analisa
dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh
positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh
negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi
Terhadap Nilai Nasionalisme
Langkah- langkah untuk mengantisipasi
dampak negatif globalisasi terhadap nilai- nilai nasionalisme antara lain yaitu
:
1.
Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintai produk
dalam negeri.
2.
Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
3.
Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya.
4.
Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-
benarnya dan seadil- adilnya.
5.
Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi,
sosial budaya bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar