Senin, 23 Juni 2014

ABIMANYU




ABIMANYU
 Anak Sang Dewa Bulan

Madukara adalah sebuah kadipaten diwilayaj Negeri  Amarta. Negara besar yang sangat berpengaruh  serta disegani negara – negara sekitarnya. Angkatan perangnya yang kuat dibawah kendali Pandawa Lima, yang sulung Prabu Yudistira, lalu Raden Bima, Raden Arjuna, Raden Nakula dan Raden Sadewa.
Salah satu panglima besar adalah Raden Arjuna ya Raden Permadi, ahli setrategi perang, pemanah ulung berparan tampan, berbudi baik. . . sering diminta bantuan oleh para dewa untuk menumpas kejahatan. Tetapi saat ini Panglima Arjuna sedang gelisah. Menunggu putra pertama yang tak kunjung lahir. Padahal Dewi Sumbadra istri Arjuna sering merasa kesakitan, sering mengusap perut, menggigit bibir menahan mulas, rasanya tak lama lagi pasti melahirkan, entah mengapa Sang Dewi sering melihat kanan, kiri keatap, seoalh ada yang dicari.
“Kakang mas, ingin rasanya aku melihat bulan”: keluh Dewi Sumbadra liri.
“Dinda. . . apa aku tak salah dengar? Bukankah jabang bayi sudah hampir lahir?. . kenapa mau ketaman melihat bulan?”: Tanya Arjuna gagap kuatir
“ini bukan keinginanku Kangmas, Bayi ini yang mau melihat bulan.”
“ahh. . . “
“Betul Kangmas, tak perlu aku dibawa ketaman, buka saja semu jendela di ruangan ini buka saja lebar – lebar, bayi ini bergerak terus, meronta, menendang, perut ini semakin sakit.
“Baik, baik Dinda”.: Sahut Arjuna Cepat, lalu :” Hai Pelayan, Buka semua jendela biarkan sinar bulan leluasa masuk keruangan ini, bayi ini yang minta”.
Para Dayang bergegas melaksanakan perintah membuka jendela lebar – lebar, hingga kamar itu kelihatan makin kian terang benderang. Tak lama setelah para pelayan pergi, Dewi Sumbadra hanya ditemani dayang – dayang yang membantu persalinan, angin semilir lembut, bau bungan Arum dalu menebar seolah menyatu dengan Sinar Bulan yang terang.
Sunyi sebentar, tiba – tiba terdengar lantang suara tangisan bayi yang baru lahir, bagai membelah langit. Tiba – tiba pula sinar bulan seolah – olah terkumpul menyatu menerpa bayi merah, dari kepala sampai ujung kaki.
Aneh. . .
Sekejap tangisan bayi terhenti, mata bayu sedikit membuka, mulut membentuk senyum, tangan kecilnya menggapai – gapai, sepeti ada suatu yang akan di pegangnnya. Bayi itu seolah – olah ditiman – timang oleh Bulan, bukan suara tangisan yang terdengar, malah suara tawa kecil bayi, lalu bayi merah itu terkekeh – kekeh lucu. Bumi seakan berhenti berputar, mendung gelap tersibak olah Cahaya bulan, siang malam tiada beda, pertanda telah lahir Kesatria besar : ABIMANYU, anak Sang Dewa Bulan, Betara Candra.
10 Tahun Kemudian :
Bayi kecil Abimanyu tumbuh pesat, sehat, trampil, tampan dan cekatan. Saat itu Abimanyu ditemani 2 saudara sepupunya, yaitu Raden Samba putra Sri Kresna yang satunya Raden Gatot Kaca dari pringgadani sethia putra Raden Bima kakak Arjuna.
Mereka menyukai permainan alat – alat perang, ada gada, tombak, panah, tamen dan panah. Sedang asyiknya mereka bermain, tiba – tiba datang Raden Arjuna.
“Selamat datang paman” : sapa Samba dan Gatot Kaca hampir bersamaan
“oh ya Samba, Gatot Kaca, kalian sedang main apa disini”: kata Arjuna lembut
“Main perang perangan Ayah, Kak Gatot jago berlari cepat seperti angin, Kak Samba lagi mengukir gagang Gendewa, anak panahnya pun dihias ayah”.
“Anakku, sekarang aku pengin tahu, sampai berapa jauh kalian pandai bermain panah. Ambil busur, anak panah dan sasaran, berupa tupai gantung dekat dahan sawo beri jarak 30 langkah dari sini”.
Samba, Gatot Kaca dan Abimanyu  dengan sigap mempersiapkan busur, gendewa dan beberapa anak panah. Boneka tupai sudah digantung didahan sawo, berderet mereka bertiga bersiap menunggu aba – aba  untuk mememah.
“Anakku Ngger Samba, apa yang kamu lihat, bagian mana yang akan kau bidik.”: tanya Arjuna
“Paman, aku melihat bayangan tupai, tapi pikiran ku berkhayal, Tupai goreng pasti lezat kalau dipadu dengan nasi tumpeng”.
Arjuna tersenyum lebar, memang samba pemuda yang suka bercanda. Setiap orang tahu bahwa Samba tidak suka perang dan tidak pandai menggunakan senjata jenis apapun.
“Panahmu jangan dilepaskan Samba, sekarang giliran kamu Gatot anakku, apa yang kamu lihat setelah kau berniat memanah boneka tupai itu”.
“Ampun paman, kulihat badan tupai seutuhnya”. Arjuna mengangguk – angguk sambil menghela nafas perlahan, lalu beralih kearah Abimanyu.
“Anakku Abimanyu, apa yang kamu lihat ketika panamu siap membidik?”
“Kepala, Kepala Tupai ayah”:Jawab Abimanyu
“Hanya Kepala? Ada yang lain selain kepala?:
“Ada ayah, sekarang aku melihat hanya mata tupai ayah, matanya saja”.
“Lepaskan !!” Perintah Arjuna.
Anak Panah lepas dari Abimanyu, suaranya menjerit membelah udara, bagai tahit, cepat hampir tak terlihat.
Cras !!! mata boneka tupai tupai telah tertembus anak panah Abimanyu, Raden Arjuna berlari diiringi Gatot Kaca dan Samba yang bersorak sorak kegirangan. Arjuna memeluk Abimanyu erat, kepala Abimanyu menelusup kedada bidang arjuna, ada kebanggaan tersendiri disana.
“Anakku, seumuranmu ayah belum semahir engkau”.
“Terima kasih Ayahanda”: jawab Abimanyu bangga
“Andai ayah kemarin melihat aku memanah jatuh lebah yang sedang terbang. . .
Aku harus berlatih dan berlatih terus biar Ayahnda lebih bangga, malam nanti aku akan berlatih lagi, Bulan. . . jangan bosan kau temani aku berlatih panah.
Ahh. . . bulan memang idola Adimanyu.








 


Hutan menuju Pertapaan SAPTA ARGA, sapta artinya 7 ( tujuh ) Arga artinya Gunung, jadi Sapta Arga adalah puncak 7 gunung, betapa tingginya, betapa sulitnya supaya sampai kesana, Hutan itu amat lebat pohon – pohon besar dililiti sulur berduri. Batang pohon banyak berlumut pertanda sinar matahari tak bisa menerobos masuk menembus lebatnya hutan menuju Sapta Arga.
Bebatuan runcing dan kasar menghiasi tebing terjal dan berliku, jarang ada manusia atau binatang yang melewati hutan itu keluar dengan selamat.
“Jalmo moro jalmo mati, Sato moro sato mati”). Manusia datang manusia mati, hewan datang hewan mati. Namu pagi itu pemandangan aneh terjadi. Siapa gerangan pemuda tanggung berlari – lari melopat diantara batuan, terkadang bergelayut diakar rotan yang melilit dipepohonan?. Apa tidak takut dengan penghuni hutan angker itu? Apa takut dengan Denawa, Drubiksa, juga raksaksa bahkan hantu, iblis ganas yang tak kelihatan ujudnya?
Dialah Abimanyu Putra Arjuna diiringi 4 Punakawan setia Gareng, Petruk, Semar, dan Bagong. Mereka hendak kepertapaan Sapta Arga tempat kakek Abimanyu bertapa, yaitu Begawan Abiyasa, Abimanyu sering di Sapta Arga menerima tuntunan kebatinan dari sang kakek. Yang dikhawatirkan terjadi, semak semak tersibak muncul raksaksa – raksaksa tinggi besar berambut gimbal tangan dan kakinya kotor, mereka bersenjata pedang, klewan, gada dan tombak tajam. Matanya jalang, mulutnya belepotan darah segar, sungguh pemandangan yang menjijikan.
“ Hei berhenti!” teriak salah satu raksaksa berbadan gempal:”beraninya kalian lewat diwilayah ini tanpa izinku”.
“Kisanak, ini wilayaj Negeri Amarta, jalan ini jalan umum, siapapun boleh lewat”.: Jawab Petruk
“Tidak bisa!! Kalian harus bayar upeti kepada ku, tinggalakn baju yang kalian pakai, lepaskan pendok mas, timang ikat pingang, dan seluruh perhiasan yang kalian pakai!” bentak Denawa yang bersenjata gada.
“Paman Petruk, biar aku yang bicara”. Sela Abimanyu\
“Tapi Raden. . .?” Jawab Petruk ragu.
“Tidak apa – apa paman, aku suka melihat dandanan mereka, ada yang berkalung ular ada yang memuter anjing ajak, singa, dan macan kumbang.” Kata Abimanyu tanpa ada rasa takut sedikit pun.
“Kurang ajar !! ditanya malah bicara sendiri!! Pengin mampus kamu?!” bentak Denawa marah.
“ Kita baru ketemu, apa tidak bisa baik?”
“Diam!! Kami disuruh Raja Plangkawati Angkawijaya untuk menangkap siapapun yang lewat, untuk dijadikan budak, serahkan diri kalian cepat!!
“Kalian bisa membawa kami, setelah kalian mengalahkan aku, jangan satu – satu, keroyoklah aku.” Jawab Abimanyu memancing kemarahan
“Gila!! Mampus kamu!” teriak raksaksa yang memakai kain kulit macan, menerkam ganas Abimanyu. Abimanyu menghindar terkaman itu, cepat dan indah gerakan itu:”Paman gareng, Semar, Petruk, Bagog menepilah, biar aku memberi pejaran pada kerbau kerbau gemuk ini.”
Betapa marahnya para raksaksa dikata sebagai kerbau – kerbau gemuk, mereka menyeruduk, ada yang mau menangkap, ada yang memukul dengan gada tapi tapi dengan tangkasnya Abimanyu meliuk gesik dan menghadiahi mereka dengan pukulan pukulan keras diwajah para raksaksa tak lama pengeroyokan pengeroyok itu pada mengerang kesakitan, ada yang wajahnya bengkat, bibir pecah dengan beberapa giginya yang rontok, bahkan ada beberapa yang pingsan kena jotosan Abimanyu di kepala dan leher mereka.
“Raden, Raden tidak apa – apa?” tanya Petruk Khawatir
“Aku baik – baik saja pama, lumayan untuk melemaskan tangan dan kaki” Jawab Abimanyu sambil mengibaskan baju menghilangkan debu dibajunya.
“Raden, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan ini, agar tidak kemalaman di hutan.” Pinta semar, ada rasa kagum diwajah semar melihat cara berkelahi junjungannya.
“betul kakek, ayolah”
“Tunggu Raden aku mau ambil beberapa kain  yang dipakai raksaksa yang pada pingsan itu.” Kata Bagong sambil menggandeng Gareng.
“jangan, pakain yang mereka pakai pasti dari mayat – mayat yang mereka bunuh. Mau kau?” sergah Petruk.
“Hei. . . Ogah Ah”: kata Gareng


“Ayo anak – anak, bendaramu sedang haus, panjat kelapa, ambil yang muda – muda untuk penghilang dahaga”.: perintah Semar.
“Tak usah kakek, biar aku yang ambil.” Kata Abimanyu sambil melentangkan Gendewa, anak panah sudah terpasang cepat, dan Tas Tas !! beberapa kelapa muda berjatuhan kena panah Abimanyu, Gareng Petruk Bagong memunguti kelapa kelapa muda tadi dengan cepat dikupan dan diberikan kepada Abimanyu.
“Paman – paman juga haus minum, kan perjalanan tadi cukup jauh dan melelahkan.” Kata Abimanyu tersenyum.
Akh satria ini, jago bertempur, jago memanah, jago menyenangkan orang, sudah tampan barhati baik lagi. . . luar biasa . . . !!!
Bulan mulai muncul, dan tersenyum seolah – olah sedang bangga melihat Abimanyu putranya tumbuh sempurna.
Pertapaan Sapta Arga berbeda jauh dengan hutan yang dilalui Abimanyu dan 4 Punakawa, dipuncak gunung ada tanah datas, berhawa sejuk rerumputan menghijau segar, bunga warna – warni disana – sini, mawar, cempaka, kenanga, ceplok piring dan arum dalu menebar wangi bagai di sorga.
“Cucuku Ngger Abimanyu”: Kata begawan Abiyasa
“Seorang kesatria wajib melindungan yang lemah memberi arah yang benar bagi yang kebingungan memberi tempat teduh bagi yang kepanasan meluruskan jalan bagi yang tersesat.”
“Maaf Eyang. . ., mengapa saya harus belajar menggunakan berbagai senjata?”.
“untuk melindungi diri”.
“Mengapa banyak orang  menyukai kekerasan? Dan mengapa manusia gemar berperang?
“Cucuku Abimanyu, kekerasan memang tidak sepenuhnya dibenarkan, tetapi tugas kesatria adalah menumpas kejahatan, Enkau wajib melindungi rakyat mu, bangsa mu dan negaramu.
“Memamyu Hayuning Bawono” memberi ketentraman dunia, tetapi jangan lupa selalu mohon petunjuk yang maha kuasa, jangan berhenti berdo’a Cucukku.”
Abimanyu manggut – manggut mengerti, ia bersyukur punya Eyang Abiyasa yang bijaksana yang selalu memberi petuah olah kebatinan.
Siapa yang mengendap endap dipinggir tembok kadipaten Madukara? Malam telah begitu larut tak semestinya orang – orang itu berjalan sembunyi – sembunyi mereka bertiga berbadan gempal, berotot dan kasar. Dari pembicaraan mereka, Abimanyu berhasil menyadap mereka telik sandi orang Plangkawati.
Memang sudah lama kerjaan Plangkawati menaruh iri melihat kemakmuran Madukara mereka sering merampok pedagang yang lewat diperbatasan. Abimanyu bergerak cepat, 2 orang Plangkawati dihantamnya hingga pingsan, satunya ditangkap.
“Ampun Raden, hamba menyerah” rintih orang itu.
“Siapa dan darimana asalmu?”
“Hamba telik sandi Plangkawati, besok madukara akan diserang, seluruh pasukan sudah mengepung Madukara dibawah pimpinan langsung Raja Angka Wijaya”.
“Kurang ajar, dimana rajamu?”
“diperkemahan disamping bukit selatan”
Satu pukulan di rengkuk orang itu  membuat mata orang itu gelap gulita, pingsan.
“Kakek semar, kita bagi – bagi tugas, bawa tawanan ini masuk kekota, laporkan keadaan disini pada Ramanda secepatnya”.: kata Abimanyu
“Lalu Raden mau kemana?”.
“aku minta paman Petruk ikut dengan ku, paman Gareng, Bagong menemani kekota sekalian membawa tawanan.”
Akan aku rangkek Raja Plangkawati diperkamahan agar tidak banyak jatuh korban.
“Hati – hati Raden”: pesan Kakek Semar bergegas akan pergi.
“baik Kakek Semar, sungkem buat Ramanda dan Ibu Sumbadra.
Malam kian larut, namun bulan semakin terang sinarnya, Abimanyu memandang keatas seleret sinar biru lembut menebar rata di sekujur tubuh Abimanyu.
“Anakku. . .” ada suara orang bergaung lirih. Abimanyu semakin bersemangat.
Sampai diperkemahan orang Plangkawati gempar karena datanganya 2 pendeta, akan menghadap Raja Jaya Murcica, raja bengis, ya raja Plangkawati.
“Apa maumu hai pendeta muda”.: bentak raja Plangkawati
“aku hanya mau minta penjelasan”.: kata pendeta yang diiringingi 1 canrik yang tak lain adalah  Abimanyu dan Petruk pengawalnya.
“Penjelasan yang mana? Jangan mengada ada, kupancung kepalamu!!” bentak raja bengis tadi.
“Mengapa kau akan menyerang madukara, apa salah madukara?”.
“Madukara salah, karena tidak mau menyerahkan Sumbadra, Sumbadra harus jadi istriku.”
“Apa Plangkawati sudah tidak ada perempuan? Sehingga mau merebut istri orang lain? Apa hanya alasan saja? Plangkawati mau mencaplok dan menguasai Madukara? Pandang aku baik – baik, ini Abimanyu putra Arjuna dari Madukara, langkahi mayatku sebelum kau menguasai Madukara.
Prabu Jaya Mercica melompat dan menerkam Abimanyu, Abimanyu dengan cepat menghindar, kakinya terangkat menghajar dada raja Plangkawati. Mereka bertarung ramai, tendangan, jotosan, pukulan saling mereka terima, prajurit Plangkawati mengepung lengkap dengan senjata klewang, pedang dan tombak, tapi Abimanyu bertambah berlipat lipat, tak lama raja Plangkawati terkapar lemas dikaki Abimanyu.
“Ampun. . . Ampuni aku Raden.”: rintih Raja Plangkawati.
Abimanyu menarik nafas panjang panjang, sudah tidak ada rasa marah lagi melihat raja Plangkawati tersengal sengal merenggang ajal.
“Aku minta maaf raden.”: katanya lirih.”Titip rakyat ku raden, pimpinanlah mereka, bimbinglah mereka biar lebih makmur. .  kuserahkan Plangkawati seisinya untukmu, pakailah julukanku biar aku bisa mati lega”.
“Baik. . . baik paman prabu, aku penuhi semua permintaan mu, aku berjanji akan memakai nama Jaya Mercica dan Angka Wijaya.
Sebuah lenguhan kecil mengatarnyawa Raja Plangkawati semua prajurit bersumpah menyembah raja baru Abimanyu dan bergelar Prabu Jaya Mercica ya Prabu Angka Wijaya.
Tak lama kemudian datak Kakek Semar, Gareng, Bagong serta Raden Arjuna lengkap dengan prajurit Madukara.
Arjuna memeluk erat putranya.
“Anakku, engkau telah mencegah pertumpahan darah, peperangan pasti akan banyak menelan korban”:
“Semua atas restu Ayanda Arjuna, Serta karunia Yang maha kuasa”. : Kata Abimanyu pelahan.
Hari hampir pagi, tetapi sinar bulan dengan setia memancarkan sinarnya, menerpa wajah Abimanyu wajah raja baru.
Bulan memeluk mesra Abimanyu, peluk kangen penuh kasih, Bidadari bersorak riuh
“Hidu Abimanyu. . . !!!
“Abimanyu Putra Dewa Bulan”
“Abimanyu Putra Sang Dewa Candra”
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar